Merdeka Belajar dalam Tatanan Sosial Skala Besar
Merdeka Belajar dalam tatanan sosial skala besar – Dunia pendidikan diajak untuk melintasi dimensi kurikulum yang mungkin serba baru di era anomali ini. Belakangan ini, banyak permasalahan yang mengemuka di permukaan sebagai bentuk evaluasi selama satu semester pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), mulai dari jadwal pelajaran atau jadwal kunjungan guru, pengaturan bahan ajar dan strategi penyampaian, hingga sistem penilaian dan pola komunikasi siswa, guru, dan orang tua.
Siswa merasa jenuh dengan penyampaian materi yang monoton bahkan tertekan dengan beban tugas yang lebih besar dibandingkan pembelajaran tatap muka di kelas. Guru yang paham teknologi lebih suka membebani siswa dengan banyak tugas. Ternyata tidak semua guru memiliki kemampuan meramu pembelajaran mandiri. Karena mendesain material baru dengan media baru membutuhkan waktu dan keahlian yang unik.
Tidak semua orang tua bisa membimbing anaknya secara intensif di rumah. Ada yang harus bekerja dari pagi hingga malam, sehingga dengan sisa tenaga setelah capek bekerja menemani anaknya belajar sering meletupkan emosi, orang tua pun stres.
Apa yang Perlu Ditangani dalam Merdeka Belajar dalam tatanan sosial skala besar ini?
Tiga landasan prioritas kurikulum darurat yang dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter, materi yang diajarkan tidak membutuhkan banyak hal. Bagaimana mau leluasa belajar jika kurikulum menjadi gemuk dan gemuk karena dipadati banyak pihak, tidak fokus pada kebutuhan siswa? Sedangkan “pembelajaran mandiri” yang digagas Mendikbud adalah proses belajar mandiri dan kreatif dengan terus berinovasi, membangun ekosistem pendidikan berbasis teknologi, dan memaksimalkan desain kurikulum berbasis implementasi, bukan sekadar menghafal rumus. dan teori.
Selama ini filosofi pendidikan kita masih behavioris, yang standar keberhasilannya dilihat dari angka sehingga terkesan kaku. Setelah belajar, “ini” akan mendapatkan “itu”. Maka, sudah saatnya kita mengubah arah ke arah filosofi pengajaran rekonstruksionisme yang dinilai lebih mampu menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing dan menjadi pembelajar sepanjang hayat yang memiliki mindset dan skillset yang sehat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyebutnya sebagai “Sumber Daya Manusia Unggul Berwawasan Pancasila”, yaitu berakhlak mulia, mandiri, keragaman global, gotong royong, kreatif dan berakal kritis.
Dengan lahirnya fleksibilitas dalam pemilihan kurikulum, maka pemerintah memberikan keleluasaan kepada satuan akademik untuk memilih kurikulum nasional, kurikulum darurat, atau kurikulum mandiri, yang dirumuskan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Sekolah siap bisa melaksanakan PJJ. PJJ tidak selalu harus online; bisa juga melalui TV dan radio. Pembelajaran tatap muka (PTM) dapat diterapkan untuk sekolah di zona hijau dan kuning dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Dengan adanya penyederhanaan kurikulum diharapkan tidak lagi memaksa guru untuk mengejar target pencapaian IQ dan KD sehingga guru lebih fokus pada kebutuhan siswa. Bukankah pengajaran yang ideal adalah bahwa guru berperan sebagai pembimbing siswa untuk menemukan versinya sendiri (self-management), bukan memaksa pendidikan berjalan sesuai dengan keinginan guru, tetapi juga berorientasi pada kebutuhan siswa. ? Kurikulum yang sederhana dan fleksibel merupakan persyaratan wajib jika Anda ingin belajar mandiri.
Mudah-mudahan penyederhanaan kurikulum ini tidak mengkhianati kebebasan belajar siswa tetapi menjadi langkah awal dalam pembenahan sistem. Seharusnya tidak ada lagi slogan “ganti menteri, ubah kurikulum.” Kurikulumnya sudah sepuluh kali kita ubah, mulai tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK 2004, KTSP 2006, dan 2013. Kalau lihat Finlandia yang berhasil menjadi negara dengan pendidikan terbaik sistem, kurikulum tidak berubah selama sepuluh tahun. Kalaupun ada penyesuaian, apa yang berubah di kurikulum sekolah, sedangkan kurikulum nasional tetap ada.
Kedua, meningkatkan infrastruktur. Bukan rahasia lagi kalau ada celah infrastruktur di Jawa dan di luar Jawa. Berdasarkan laporan Network Readiness Index (NRI, 2019), Indonesia berada di posisi 76 dari 121 negara yang mengalami kesenjangan digital. Kekurangannya yang paling signifikan adalah tingkat partisipasi digital, jaringan internet, dan peraturan pemerintah tentang TIK. Berdasarkan data BPS (2018), hanya 20,05 persen rumah tangga yang memiliki komputer di perkotaan. Tak heran jika PJJ semakin membebani masyarakat yang tidak memiliki gadget, apalagi di wilayah 3T yang juga mengalami kesulitan jaringan.
Diduga, subsidi kuota internet untuk mahasiswa, guru, mahasiswa, dan dosen yang sedang dibahas pemerintah dengan anggaran Rp. 7,2 triliun lebih tepat sasaran jika dikelola oleh setiap RT atau desa, daripada diberikan oleh individu yang memiliki kemungkinan penyalahgunaan yang tinggi, seperti yang dilakukan oleh satu RT di Subang. Ketua RT menarik iuran 1000 rupiah / keluarga / hari yang dikelola oleh karang taruna. Hasilnya adalah fasilitas wifi agar anak-anak dapat belajar online dengan lancar, untuk membeli printer dan kertas untuk mencetak tugas, dan sebagian lagi untuk transportasi guru yang datang mengajar ke rumah. Atau ada juga warnet Covid-19 di Bandung yang di sediakan gratis.
Ketiga, kompetensi guru. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2017, rata-rata nasional tertahan pada 69,55 guru sekolah menengah, 67,76 guru sekolah menengah pertama, 62,22 guru sekolah dasar. Tidak lebih dari 2 persen memiliki gelar master dari total 2,7 juta guru di seluruh Indonesia. Selama pandemi, hanya 15-20 persen daerah yang menggunakan MGMP dan KKG untuk menyusun bahan ajar.
Nampaknya upaya pemerintah untuk menghabiskan dua pertiga anggaran pendidikan untuk sertifikasi guru belum berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi guru, padahal untuk menciptakan generasi yang unggul harus dididik oleh guru yang berkualitas dan terlatih secara profesional seperti dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2015-2030. Sinyal dari Hargreaves & Fullan (2003) memang menyatakan, “Kekuatan untuk mengubah pendidikan – menjadi lebih baik atau lebih buruk- ada dan selalu ada di tangan para guru.”
Keempat, peran orang tua. PJJ / SFH merupakan bukti bahwa orang tua juga berperan penting dalam keberhasilan pendidikan karakter. Orang tua harus belajar menghargai proses belajar anak. Menjadi rekan diskusi bukanlah kunci jawaban saat mendampingi pembelajaran. Beri petunjuk saja, lalu biarkan anak berpikir mandiri, mencari jawabannya.
Jika orang tuamu tidak tahu, jangan malu untuk ikut belajar. Kolaborasi orang tua seperti ini akan meningkatkan kemampuan multiliterasi bangsa. Karena bukan hanya anak yang dipaksa belajar, tapi orang tua juga belajar keseimbangan. Bukankah kita bisa memaksakan metode belajar anak seperti yang kita tahu sebelumnya?
Didiklah anak sesuai zamannya, karena setiap usia ada musimnya. Dan kini saatnya mendidik anak secara mandiri, bukan dengan mendikte secara tegas. Mari kita pulang sebagai pusat pembelajaran, dimana orang tua juga memiliki peran penting dalam mengembangkan kekuatan pola pikir dan keterampilan anak.
Baca juga: Seperti Apakah Surat Pernyataan Pemberlakuan Kurikulum?
Diharapkan sistem pembelajaran selama pandemi ini hanya akan berhasil jika sistem pendukung antara lembaga pendidikan, sistem pendidikan, pendidik, siswa, dan orang tua dapat saling berpelukan, bukan saling pukul. Kami memperbaiki bersama apa masalahnya. Bukankah ide-ide cemerlang akan mengubah dunia hanya jika mereka dapat mengubah perilaku orang? Kemudian perlahan-lahan menciptakan budaya baru yang berakar kokoh di reruntuhan tatanan lama yang telah luntur oleh pandemi, inilah yang disebut Yuval Noah Harari sebagai revolusi praktis menuju tatanan sosial skala besar, di mana pembelajaran mandiri yang didukung oleh pendidikan teknologi akan segera disimpan bersama.
Baca juga: